Monday, November 10, 2008

Cinta

Banyak bacaan bertema cinta yang sudah kubaca, namun aku sendiri masih terlalu malu untuk menuliskannya dalam rangkaian kata yang menggugah hatiku sendiri, tentang apa dan siapa, tentang mengapa lalu kemudian bagaimana.
In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful.
Praise be to Allah, the Cherisher and Sustainer of the worlds;

Puluhan karanganku sering menunjukkan sisi emosionalku yang terkendali maupun tidak, dan kali ini bagaimanakah sisi lubuk hatiku mampu menuangkannya secara jujur dan tidak terbelenggu kemunafikan yang sering membungkus argumen - argumen yang kulontarkan untuk membela diri, yang rasanya hadir begitu saja... mungkin karena terlalu banyak kemunafikan yang menutup kemunafikan yang sudah ada... aku berlindung kepada-Mu dari godaan yang terkutuk dan aku berlindung dari kejahatan diriku sendiri.



Kenapa rasa gelisah mulai hadir . . .
Apakah penyebabnya . . .
Benarkah hati ini mulai tertarik . . .
Kepada siapa hati ini ditautkan . . .

Hati ini berdegup sedikit lebih kencang, hati ini memaksa menetralkan semua sisi kegugupan ketika sesuatu tentang dia terdengar melalui telinga, memaksa berpaling menutup fitrahku sebagai manusia bahwa dia sebenarnya sudah mencuri hatiku. . .
Tiap pertemuan dengannya mungkin sering aku menghindar, tapi kadang lengah menyapa pikiranku untuk menutun mata ini pada si penggoda hati, entah karena rasa keingintahuan atau justru kenginan untuk memiliki walau sekedar dalam pandangan, kemudian penyesalan sesaat terjadi, kenapa hati ini lengah menjaga syahwat yang bergelora. Astaghfirullah... wajarkah ini ...
Mungkin argumen berbalut madu mungkin pula hati yang terturut kehendak syetan, manusia memang memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya, namun di sisi lubuk hati ada jeritan lemah berkata apakah ini zina hati...

Sementara tidak usahlah aku memperdebatkan apa yang mungkin tak akan berujung. Ada yang lebih menarik lagi, ketika namanya terdengar jantung berdetak lebih cepat, ketika permintaannya terucap, jiwa ini bersegera menjawab... tapi saat Asma-Nya terlantunkan dalam kalimat - kalimat suci, jarang kalbu ini tersentuh, jangankan detak, rasanya getaran lemah pun masih sangat jarang. Saat panggilan-Nya terdengar jangankan bersegera, menundapun masih diiringi dengan penundaan yang lain. Argumen tentang bahwa “ibadah kepadaNya sering dibangun atas fondasi toleransi” bermunculan di setiap pertentangan hati.

Tidak butuh beberapa detak untuk gundah, saat nama indah si dia disebut, tetapi butuh energi super ekstra untuk sekedar terjaga, saat nama-Nya terlantun, walaupun lantunan itu sudah sangat merdu, namun energi yang muncul pun masih kurang untuk membuat aku sadar dan berpaling serta kembali ke jalan yang benar.

Tidak perlu sekian lama untuk menghadirkan rindu saat si-dia mulai menghilang dari peredaraan jalur hidupku, kadang tidak sampai setengah hari, sesaat setelah berpisah saja sudah mampu mengundang rasa rindu untuk berdandan indah, mengisi kekosongan angan – angan, menegakkan pilar – pilar semangat hidup, bahkan hingga menghiasi mimpi – mimpi yang belum tentu bisa kurencanakan... dia sering hadir begitu saja... wajah lugunya mungkin sulit kulukiskan dalam tiap anganku, tapi ingatan akan si dia serasa tidak pernah lepas dari lukisan hati, tergambar begitu saja, tidak perlu usaha untuk mengumpulkan memori – memori, mereka datang dengan sendirinya, dalam sepi atau ramai, dalam susah atau mudah, dalam sempit atau lapang... Padahal si dia belum tentu melakukan hal yang sama untukku... betapa sia – sia waktu yang kuhabiskan...

Rindu kepada Rabb-ku, sering kuusahakan, bahkan hampir setiap harapan kupanjatkan dalam ujung – ujung doaku, agar cinta¬ kepada Sang Khaliq hadir dalam kalbu ini, tetap tak mampu membuat hati ini bahkan sekedar untuk bergetar merasakan rindu saat nama-Nya cukup lama tak terdengar. Padahal sesungguhnya Dia tak pernah melewatkan aku dari pengawasaan-Nya, kenapa alasan ini masih kurang...

Masihkah aku mampu berkata “saya mungkin mencintai makhluk-Mu, tapi tidak lebih dari hamba mencintai-Mu.”
Relevankah panji - panji yang diteriakkan dalam semangat yang lantang “Cinta kepada-Mu lah yang tertinggi.”

Sungguh dari ilmu manapun yang aku pelajari, cinta kepada-Mu adalah transaksi tak pernah berkata rugi, cinta kepada-Mu adalah surga menaungi hamba - hamba-Mu dimanapun dan kapanpun, cinta kepada-Mu adalah serasa intisari dari surga bagi hamba - hamba-Nya dan cinta kepada-Mu adalah adalah. . . dan adalah . . . cinta ...

Cinta kepada-Mu adalah rindu yang tak pernah bertepi
Namun rindu akan kemampuan menghadirkan cinta yang suci, tulus dan penuh kepada-Mu justru sering sekedar jeritan hati .

Hadirkanlah kemampuan dan kesungguhan membalas cinta-Mu sesederhana mungkin, hingga argumen - argumen kemunafikan sampai meneteskan air mata tidak sanggup menyentuhnya ketulusannya. Tidak sebesar gunung, yang kuharapkan hanyalah sebesar cincin yang utuh, tidak besar, namun tak pernah berujung bila kutelusuri tepiannya, tidak menjulang tinggi, namun tapi tak pernah berakhir bila aku meniti puncaknya. Mungkin tidak halus, jangan Engkau hentikan usaha kembali meniti jalan menuju cinta-Mu setelah terjatuh dalam jurang maksiat untuk yang kesekian kalinya.

Ingin sungguh hati ini senantiasa mengingat-Mu dalam peluh, tangis, dan tawaku. Sungguh ingin aku berbuat bukan karena surga-Mu, bukan pula takut neraka-Mu, tapi karena ingin membalas cinta-Mu. Ingatkanlah aku akan kisah :

tersebutlah Utsman bin Mazh'un, salah seorang shabat Rasulullah SAW. Suatu ketika ia dipukuli habis - habisan oleh orang - orang musyrikin Quraisy hingga babak belur. Salah satu matanya rusak karena pukulan itu. Salah seorang tokoh mereka sangat menyayangkan kenekatan Utsman, mengapa ia tidak meminta perlindungan kepadanya agar tidak tertimpa musibah ini. Demi mendengar simpati itu, ia berujar, "Bahkan mata yang satu ini iri terhadap apa yang menimpa saudaranya."

Wahai bibir, engkau makhluk ciptaan-Nya yang sering kuajak dalam kegelimangan dosa, sudah waktunya engkau habiskan dalam lantunan doa, sudah saatnya engkau lelah memanjatkan harap, sekarang waktunya engkau kering dalam kelelahan itu. Jadikanlah mutiara setiap apa yang kau lantunkan, dan kan kutukar dengan ketenangan jiwa dalam kedalaman rasa syukur yang sangat.

Wahai kalbu... Semoga tak pernah hati ini menyerah dalam jalan meniti jalan pertaubatan yang panjang seolah tak berujung, karena hanyalah “seolah tak berujung” bukan “pasti tak berujung”, dan karena yang kuyakini adalah ampunan-Mu tak terbayangkan luasnya, dan tak terlihat tepiannya.

Wahai waktu, engkau adalah teman yang tak pernah bersahabat, sudah saatnya kita memperbaiki hubungan kita, kutawarkan engkau kegembiraan, maka bantulah aku terhidar dari kesia – siaan.

Semoga jauh sebelum malaikat pencabut nyawa-Mu hadir menyapaku, kemudian mengecup mesra dalam kecupan mautnya, jadikanlah aku dalam keadaan yang Engkau ridhai, semoga di setiap kesempatan tercipta usaha yang berjodoh dengan takdir. Semoga di ujung doa yang kupanjatkan mampu menghadirkan rasa harap yang sangat, semoga setiap harapan yang terajut mampu mengundang rasa ridha akan ketetapan-Nya, merayap masuk kemudian menghujam ke dalam hati. Janji-Nya tak akan pernah Dia ingkari, penantian mungkin menyakitkan namun selalu ada harganya, kesabaran sangat berat tapi tak akan pernah mengecewakan. Waktu pasti berlalu, janji dan ketetapan-Nya pasti berlaku, pena sudah terangkat dan tinta sudah mengering

Akankah cinta sejati itu hadir, sungguh banyak cinta yang kurindukan, sungguh tidak sedikit cinta yang bisa kuhadirkan, tapi kenapa cinta kepada-Mu belum hadir pula, kenapa masih sekedar angan . . .


Ketika rindu-pun masih belum cukup menggetarkan hati ini...
Ketika cinta pun belum tumbuh dan bersemi...
Saat pintu masih terkunci rapat...
Saat jendela masih menghalangi datangnya cahaya...
Semoga gundah ini mampu menjadi jalan pintu bagi rahmat – rahmat-Nya.
Semoga kegelisahan ini cukup membuat hati bersabar berusaha.
Semoga penantian ini berakhir indah

No comments: