Wednesday, August 06, 2008

4 Aspek Penting Di dalam ‘Ubudiyyah

aspek.jpg

“Tidak mungkin suatu pengetahuan tentang Tuhan
(ma’rifat - gnosis) dapat muncul di dalam hati seseorang
dan dapat dicapai dengan tujuan selain mematuhi Tuhan,
mencintai, dan menghamba kepada-Nya.
Ma’rifat harus dicari dengan dasar hanya berharap
kepada-Nya, bukan dengan alasan lain apa pun”

Ibn ‘Ata’Allah 1]

Ibadah sesungguhnya mengandung 4 aspek penting yang antara lain:

1. KERENDAHAN HATI
Ketika cinta al-Hallaj mencapai puncaknya, menjadi musuh bagi dirinya sendiri dan sirnalah ia. Katanya, ”Akulah Tuhan – Ana al-Haqq” artinya, ”Aku telah sirna; Tuhan yang ada, tiada yang lain.” Inilah batas kerendahan hati dan puncak kehambaan. Artinya, ”Hanya Dia yang ada.”

Membuat sebuah pernyataan yang salah dan menjadi bangga, dengan mengatakan, ”Engkaulah Tuhan dan akulah hamba.” Sebab dalam hal ini engkau menegaskan eksistensimu sendiri, dan dualitaslah hasilnya. Jika engkau mengatakan,”Dia-lah Tuhan” hal itu juga menunjukkan dualitas, karena tidak akan ada “Dia” jika tanpa ‘aku”. Karenanya, Tuhan berkata, ”Akulah Tuhan.” tidak “Dia.” yang mengandung arti bahwa ‘ada yang lain’. Al-Hallaj telah mencapai fana, sehingga apa yang dikatakannya adalah kata-kata Tuhan. 2]

Hanya ketika nafs (ego) manusia sirna dan mencapai fana, dia baru dapat berkata,”Aku.” Namun, setelah itu dia tidak lagi mengatakannya, karena sifat-sifatnya telah digantikan oleh sifat-sifat Tuhan. Dalam baqa di dalam Tuhan ini, seseorang benar-benar telah ‘menjalankan Amanat’ dan menjadi khalifah Tuhan di muka bumi, memiliki kesadaran penuh dan seutuhnya mengejewantahkan Wujud-Nya.

Dan jika seseorang berkata, ”Aku.” sebelum mencapai maqam ini, hal itu justru jadi penegasan akan eksistensi dirinya sendiri. Bahkan jika dia seorang mu’min mengatakan, ”Aku ada dan Tuhan ada”, tentu saja ini bertentangan dengan pernyataan syahadatnya : “Bahwa Tiada realitas (tuhan) kecuali Yang Nyata(Allah).” Karena ke-aku-an adalah realitas, sedangkan ke-aku-an manusia adalah realitas semu.

Rumi bersyair :
Fir’aun berkata : ‘Akulah Tuhan!’,
dan ia binasa,
tapi al-Hallaj berkata : ‘Akulah Tuhan!’
dan ia selamat!”
3]

Jika seseorang memujimu : ‘betapa baik (shalih)-nya kamu!’ dan hal ini membuat kamu merasa lebih senang ketimbang ketika seseorang mengatakan : ‘Betapa buruknya kamu!’, maka berarti keadaan batinmu masih buruk. 4]
Oleh karena itu, tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan, sebab segala sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak ditanam, niscaya tidak akan berbuah dengan sempurna. 5]

2. KETAATAN YANG MENDALAM
Di dalam sebuah hadits Qudsi, Allah SwT telah berfirman, ”Tidaklah bumi-Ku dan langit-Ku mampu meliputi-Ku, akan tetapi hati seorang hamba-Ku yang beriman mampu meliputi-Ku.” 6]

Muhyiddin Ibn ‘Arabi mengatakan, Hal ini karena hati sang mu’min laksana sebuah cermin di mana ‘bentuk Tuhan’ termanifestasi , yang pada setiap saat terefleksi pada tingkatan dari Mikrokosmos.” 7]

Setiap hamba menyatakan suatu kepercayaan khusus kepada Tuhannya, dari siapa ia meminta bantuan menurut pengetahuan yang ia miliki. Dengan demikian, iman berbeda dengan Tuhan, sama halnya Tuhan berbeda, walaupun semua iman adalah bentuk-bentuk dari satu iman, sama halnya semua Tuhan membentuk di dalam cermin Tuhan dari segala tuhan....

Tuhan tidak dibatasi pada cara di mana Dia ber-epifani 8] kepadamu dan membuat Diri-Nya mencakup ke dimensimu untuk menerima-Nya. Dan itulah mengapa makhluk lainnya tidak berkewajiban untuk mematuhi Tuhan, yang menuntut pengabdianmu, sebab teofani mereka mengambil format lain. Format di mana Dia berepifani kepadamu adalah berbeda dari di mana Dia berepifani kepada yang lain. Tuhan sebagaimana Dia bertransendensi (munazzah) pada semua yang dapat dimengerti, dapat dibayangkan, atau bentuk yang masuk akal, tetapi yang dipertimbangkan di dalam nama dan sifat-Nya, yang adalah teofani-Nya.

Dia adalah, sebaliknya, tidak dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk ini, yang adalah, dari suatu figur tertentu dan suatu situs tertentu di dalam ruang dan waktu. 9] Seperti diisyaratkan dalam hadits lainnya, ”Hati seorang mu’min adalah ‘Arsy Allah.” 10]

Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Barangsiapa yang menginginkan kemuliaan tanpa keluarga besar, menginginkan kekayaan tanpa harta, dan menginginkan kewibawaan tanpa kekuasaan, maka hendaknya dia berpindah dari kehinaan maksiat kepada Allah menuju ketaatan kepada-Nya.” 11]

3. BERSERAH DIRI
Adalah penting untuk menjadi jelas tentang kepada siapa kita berserah diri, apa yang kita serahkan dan bagaimana kita berserah diri. Biasanya kita menyerah pada ego kita. Itu menjadi sangat otomatis, karena kebanyakan dari waktu kita, kita tidak memperhatikannya.

Suatu saat beberapa pengetahuan telah kita peroleh dan membuat kemajuan; tanda yang pertama dari seorang salik (pejalan ruhani) muncul dengan suatu perubahan yang fundamental. Perubahan ini sekitar usaha untuk berserah diri secara konstan kepada Tuhan sebagai ganti berserah diri kepada tuntutan-tuntutan dan hasrat ego-personalitas atau nafs.

Kita harus bertanya kepada diri kita, apa yang akan kita serahkan? Tentu saja bukan kekayaan kita, atau pun seseorang yang kita cintai, atau juga semua yang kita miliki. Tuhan tidak memiliki hasrat terhadap semua itu. Sebenarnya yang mesti kita serahkan kepada-Nya adalah ego-personalitas kita (nafs), karena ego merupakan instrumen-instrumen yang membentuk rintangan di dalam usaha kita untuk mendekat kepada Tuhan, dan penghalang dari hasrat Tuhan kepada kita untuk mendapatkan kedekatan dengan-Nya dan untuk mengenal-Nya.

Sekarang pertanyaan yang tinggal adalah : bagaimana cara kita berserah diri kepada Tuhan?

Kita harus menyerahkan seluruh instrumen-instrumen ego, yang kenyataannya adalah semua pikiran, emosi, keinginan dan hasrat kita. Selama ini ego-personalitas kita telah mendominasi diri kita, karena instrumen-instrumen ini, atau dengan kata lain senjata-senjata ini digunakan oleh ego personal kita.

Bayangkan oleh Anda jika bahwa di dalam diri kita ada seorang musuh yang mengontrol jiwa kita, bersenjata dengan senjata-senjata ini. Mungkin karena ini pula Rasulullah Saw bersabda, ”Musuhmu yang paling berbahaya adalah nafs-mu yang berada di antara ke dua lambungmu.” 12]

Oleh karena itu satu-satunya cara untuk memerangi dan menundukkannya adalah dengan membuang senjata-senjata itu. Bagaimanapun, hal ini bukan tugas yang gampang, karena, sejak awal kita percaya bahwa ‘personalitas’ itu adalah ‘kita’, dan ‘kita’ adalah ‘personalitas’ itu. Suatu tingkat kesadaran tertentu diperlukan untuk menyadarkan diri kita bahwa ada sesuatu yang lebih dari kita, yaitu : bahwa personalitas (kepribadian) hanya suatu selubung luar yang menutupi diri hakiki (inner self) atau esensi kedirian (essential self) kita.

Namun tanpa disadari, kita telah membentuk ‘tambahan-tambahan’ (attachments) pada struktur diri ini dan kita mengidentifikasikan ‘tambahan-tambahan’ itu sebagai identitas kita. Masalah lainnya adalah bahwa sifat alamiah ego yang senantiasa memanipulasi. Hal ini membuat kita, (meminjam istilah Sufi), jatuh hampir setiap saat; bahwa kita ingin menunggang keledai nafs dan menarik kendalinya, hanya untuk menemukan bahwa menit berikutnya kita sedang berjalan di belakang keledai mengikuti kemana keledai itu pergi.

Ego memiliki suatu yang dijalankan penuh untuk kita dan telah menjadi suatu kekuatan hebat yang takkan menyerah dengan mudah. Perjuangan internal melawan nafs telah disebut Nabi saww sebagai Jihad Akbar (peperangan yang terbesar) – yang lebih besar dari peperangan di medan perang yang sesungguhnya.

Perjalanan hidup seperti ini adalah perjuangan untuk melepas jubah ego personalitas yang menutupi diri kita yang sebenarnya, dan menjadi tersadarkan (self conscious), selagi diberi kesempatan untuk melempar jubah tersebut dan kembali ke status Kesadaran Ilahiah. Inilah tujuan sesungguhnya penciptaan kita.

Kebutuhan yang paling penting bagi kita adalah memiliki ketulusan (ikhlash) dan iman. Jika kita memilikinya, maka bantuan ghaib, suatu petunjuk atau bisa jadi seorang guru spiritual akan muncul.

Dilema manusia muncul ketika jiwa manusia terperangkap di antara kekuatan Ilahi dan kekuatan ego. Ketika kekuatan ego menarik kita bawah, kekuatan yang lebih rendah bahkan menambah kekacauan dan ketidakseimbangan di dalam diri kita dan hidup kita. Kekuatan ego ini akan mempertahankan diri agar kita tetap berada di bawah kontrolnya.

Pada sisi lain, jika jiwa kita naik ke alam yang lebih tinggi, kekuatan yang lebih rendah tidak memiliki banyak akses untuk mengendalikan kita, dan kita dapat langsung menerima bantuan dari alam yang lebih tinggi tersebut, (kecuali jika kita tergelincir dan harus berikhtiar untuk menghantam balik) Ini merupakan salah satu pertimbangan yang di dalam Sufisme banyak penekanan di sekitar pencari yang tulus dan menghindar dari orang-orang yang dikendalikan ego, karena, sebagaimana hukum “cinta menarik cinta”, sehingga kita bisa dengan mudah untuk ditarik dan tergelincir.

Untuk naik ke alam yang lebih tinggi, kita harus bisa berserah diri. Untuk itu, kita harus menyerahkan seluruh pikiran, emosi dan hasrat keinginan kita. Ironisnya, dengan berserah diri, kita menjadi mampu menerima dan merespon apapun juga yang Tuhan tunjukkan ke jalan-Nya tanpa penyimpangan dari ego personalitas.

Fatima Fleur Nassery Bonnin, seorang sufi wanita, telah berbicara dengan Syekh-nya lewat telepon dan sang Syekh berkata, “Aku tidak berpikir. Aku hanya melakukan apa yang diletakkan di hadapanku.”. Pendengaran batin sang sufi wanita mendengar makna yang dalam dari pernyataan ini dan ia mengalami efek yang luar biasa. Dia mengatakan lagi, ”Bayangkan, melakukan dan merespon apa yang Tuhan letakkan di hadapan kita tanpa terperangkap dalam emosi dan pemikiran seseorang. Secepat seseorang membiarkan pikiran, emosi atau hasrat keinginannya masuk, secepat itu ia ditarik keluar dari ‘kesatuan’ (the unity), dan dilemparkan ke alam serbaragam dan kepribadiannya menjadi pecah berkeping-keping.”

Nabi ‘Isa as mengatakan, ”Tuhan selalu bersama kita jika kita berserah diri kepada-Nya dan jika kita mencintai-Nya lebih dari yang lain-lain, bahkan diri kita.”

Sesungguhnya Kesadaran Ilahi telah ditanamkan di dalam hati tiap-tiap keturunan Adam. Ketika kita berserah diri, Kehendak Tuhan akan bergerak melalui kita dan tindakan kita dan menjadi tindakan-Nya. Apa yang kita harus lakukan adalah berserah diri. Inilah makna pengorbanan yang nyata, dengan mengorbankan diri yang semu (pseudo-self) dalam rangka menjangkau Diri Ilahi (nafs ilahi). Apa yang kita pertahankan dari kesatuan itu adalah ‘keaku-an’ (me-ness) yang ditempatkan di tengah-tengahnya.

Berbicara tentang realitas, Hafiz, Sufi Persia bersyair :

Engkau sendirilah yang menghijab dirimu, Hafiz..
karena itu lepaskanlah dirimu!

Setiap saat Tuhan bersama kita. Jika Dia tidak bersama kita, pasti kita tak bisa berdiri di atas ke dua kaki kita atau kita takkan bisa melangkah. Di dalam Qur’an, Allah SwT berfirman, ”Dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya.” (QS 50 : 16). Jadi, Dia senantiasa hadir dekat kita, tetapi kita tidak hadir dengan-Nya.

Kita selalu sibuk dengan diri kita, pikiran, emosi dan keinginan-keinginan kita. Bahkan ketika kita mengharapkan untuk dekat dengan-Nya, karena harapan, pikiran dan hasrat kita tersebut justru membuat kita semakin jauh dari-Nya.

Kita tidak akan dapat memenuhi pikiran kita dengan Dia selama pikiran kita penuh oleh ‘diri’ kita sendiri. Ketika kita berpikir atau berhasrat, itu berati ‘kita’ telah menjadi bagian dari ‘diri’ itu sendiri, dan semakin besar kita mencoba mendekat kepada-Nya, justru semakin jauh jarak yang kita buat. 13]

Di antara tanda berhasilnya akhir perjuangan adalah penyerahan diri kepada Allah yang dilakukan sejak awal perjuangannya. 14]

4. KEIKHLASAN
Imam Ali as mengatakan, Ibadah yang ikhlas itu adalah apabila seseorang tiada ber­harap kecuali kepada Tuhannya dan tiada yang ia takuti kecuali dosanya. 15] Betapa pun beragamnya kualitas kepentingan manusia atau beragamnya ekspresinya dari satu zaman ke zaman yang lain, kepentingan manusia tetap dapat dibagi menjadi dua macam :

1. Suatu kepentingan yang hasil dan pencapaian materilnya kembali pada diri orang itu sendiri di mana kerja dan usahanya bergantung pada pencapaiannya akan keinginannya tersebut.

2. Kepentingan yang tujuannya tidak kembali pada pelaku langsung atau kelompok dimana ia berasal. Kepentingan jenis ini meliputi semua kerja keras yang tujuannya lebih tinggi daripada pelaku itu sendiri, karena setiap tujuannya yang besar biasanya tidak dapat dicapai melainkan dengan kerja keras atau usaha kolektif dalam jangka waktu yang lama.

Kepentingan jenis pertama menjamin alasan terdalam seseorang , usaha, serta kesediaan menjaganya, karena pelaku merupakan orang yang memetik hasil kepentingannya dan secara langsung menikmatinya. Adalah suatu yang alamiah jika terdapat usaha dalam dirinya untuk menjaga dan berusaha memeliharanya.

Sedangkan kepentingan kedua, alasan untuk menjaga kepentingan ini tidak mencukupi. Kepentingan di sini bukan hanya pelaku yang aktif. Seringkali peranan usaha dan kerja kerasnya lebih besar daripada kepentingannya.

Dengannya, manusia memerlukan didikan subjektifitas tujuan dan penafian diri dalam alasannya. Contohnya adalah keharusan bekerja untuk kepentingan orang lain atau kelompok. Dengan kata lain, ia mesti bekerja untuk tujuan yang lebih besar daripada eksistensinya sendiri serta kepentingan-kepentingan materialistisnya. Kepentingan jenis kedua ini memerlukan penafian diri, karena kerja berikut hasilnya dipersembahkan orang lain, atau dengan kata lain : menanam benih yang buahnya tidak akan terlihat oleh orang yang menanamnya.

Oleh karena itu, adalah perlu menggugah setiap orang untuk melakukan kerja keras dan usaha yang tidak hanya diperuntukan bagi dirinya dan kepentingan materialistisnya, sehingga ia mampu meningkatkan penafian diri dengan tujuan yang lebih objektif lagi. Seperti yang telah diketahui, ibadah ritual merupakan perbuatan manusia yang dilakukan untuk mencari ridha Allah.

Oleh karena itu, usaha tersebut akan menjadi tidak dibenarkan apabila seorang hamba hanya berusaha atau beribadah untuk kepentingan pribadinya. Ibadah ritual tidak dibenarkan jika tujuan yang melatarbelakanginya adalah kebanggaan pribadi (‘ujub), mencari perhatian publik (riya’), atau pengabdian terhadap egonya sendiri, di dalam dirinya dan lingkungannya.

Sekiranya kita mengetahui semua ini, kita dapat menggambarkan kedalaman dan kapasitas latihan spiritual dan psikologi yang dilakukan manusia melalui ibadah ritual untuk tujuan yang objektif, yaitu untuk memberi dan berkorban, bekerja untuk tujuan yang lebih tinggi di semua bidang dan usaha manusia.

Berdasarkan hal ini, Anda dapat mengetahui perbedaan yang besar antara orang yang hidup bekerja dan beribadah untuk mencari ridha Allah, atau tepatnya : bekerja keras tanpa menanti balasan kerja kerasnya dengan orang yang bekerja dengan pamrih-pamrih tertentu. 16]

Imam al-Shadiq as berkata, ”Sudah semestinya bagi seorang hamba itu memurnikan niatnya di dalam setiap gerak dan diamnya. Karena jika ia tidak berada dalam keadaan seperti ini berarti ia adalah seorang yang lalai (ghafilan), padahal mereka, al-ghafilun, disifatkan Allah Ta’ala di dalam firman-Nya, ”Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi”, dan firman-Nya,”mereka itulah orang-orang yang lalai (al-ghafilun)…” 17]

Firman-Nya, ”Katakanlah : Allah! Kemudian tinggalkan yang lain-lain di dalam pertengkaran mereka yang remeh dan mereka (terus) bermain-main.” (QS Al-An’am [6] ayat 91)

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Catatan Kaki :
1. Ibn ‘Ata’Allah, The Key To Salvation: A Sufi Manual of Invocation,
p. 1592. Rumi, Fihi Ma Fihi 193/202; William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, hal. 287
3. William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi, hal. 289
4. Llewellyn Vaughan-Lee, Travelling the Path of Love, p. 109, Inverness, California: The Golden Sufi Center, 1995.
5. Ibn ‘Athaillah, al-Hikam, hikmah no. 11
6. Al-Mahasin hal. 242, Husain Mazhahiri, Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani, hal. 331
7. Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn `Arabi, p. 196, Trans. Ralph Manheim. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1969)
8. Epifani : epiphany : theophany : bermanifestasi atau “menampakkan diri”
9. Ibid, p. 310.
10. Tafsir al-‘Iyasyi 1 : 5
11. Baqir al-Majlisi, Bihar al-Anwar 75 : 192.
12. Ibid 70 : 64.
13. Sheikha Fatima Fleur Nassery Bonnin, Surrender, Digital Islamic Library.
14. Ibn ‘Athaillah, Al-Hikam, hikmah no. 26.
15. Mizan al-Hikmah 6 : 29.
16. Ayatullah Sayyid Muhammad Baqir al-Shadr, Aspek Filosofis Ritual Islam, Jurnal al-Huda Vol. II, No. 4, 2001.
17. Mustadrak al-Wasail 1 : 10.





No comments: