Wednesday, September 17, 2008

nama itu doa....

 

Pencapaian Brilian Remaja Ikhsan

Rabu, 27 Agustus 2008 | 03:00 WIB

Oleh GESIT ARIYANTO

Namanya Ikhsan Brilianto. Usianya baru 14 tahun. Di antara ratusan peserta Lomba Karya Ilmiah Remaja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LKIR-LIPI Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan, ia termasuk termuda. Namun, pelajar kelas III SMP Negeri 5 Yogyakarta itu membuktikan, muda tak bisa disepelekan. Ia terbaik di bidangnya. ”Saya enggak nyangka,” kata Ikhsan singkat mengomentari kemenangannya.

Karya ilmiahnya berjudul Bom Waktu Dunia Pariwisata di Yogyakarta (Sebuah Studi tentang Praktik-praktik Pramuwisata Liar). Juri menilai idenya orisinal. Dari presentasi langsung, ia membuktikan bahwa ia tak menjiplak, menyadur, atau sekadar menjalankan tugas dari orang lain.

Atas prestasinya itu, Ikhsan mengantongi piagam penghargaan dan uang senilai Rp 18 juta, serta ke Korea menghadiri forum ilmiah dunia, the 1st APEC Future Scientist Conference di Gyeongnam, 20-24 Agustus 2008.

”Rasanya senang banget,” kata Ikhsan.

Kemenangan kali ini prestasi keduanya. Tahun 2007, ketika masih kelas I SMP, Ikhsan meraih Juara Harapan I Lomba Penelitian Ilmiah Remaja (LPIR). Karyanya berjudul Prospek Berdagang Klithikan Sebagai Alternatif Wirausaha di Yogyakarta.

Baginya, proses mencari, menemukan, dan menuangkan ide ke dalam tulisan amat menantang. Ia justru menikmati hal-hal yang tak mudah dikerjakan.

Dua ide karya ilmiahnya dekat dengan keseharian. Rumahnya di kawasan alun-alun selatan Yogyakarta. Di sini banyak pedagang barang bekas (klithikan) sekaligus dekat destinasi wisata. Jalur pergi-pulang dari rumah ke sekolahnya pun melintasi nadi pariwisata tersohor, Malioboro.

Terkait ide karya ilmiah keduanya, ia berujar, ”Saya kepikiran, kok ada pramuwisata tak resmi. Dampaknya apa?” Lebih lanjut ia dibimbing salah satu guru Fisika SMPN 5, Andi Rahayu.

Salah satu juri yang juga peneliti otonomi daerah (otda) LIPI Syarif Hidayat menyebut kelebihan Ikhsan ada pada orisinalitas dan energinya menuangkan ide ke dalam tulisan. Ini lebih dari sekadar gagasan.

Idenya yang orisinal dinilai menarik. Syarif berkomentar, tak banyak penelitian seputar pariwisata yang menyoroti dampak kehadiran pramuwisata liar.

Otodidak

Keterampilan bungsu pasangan guru SMA, Farida (51), guru Ekonomi, dan Yati Utami Purwaningsih (43), guru Biologi, itu tumbuh otodidak. Metode penelitian dan penulisan dipelajarinya dari modul penulisan ilmiah milik kakak satu-satunya, Kartika Afrida Fauziah (17), pelajar SMA 1 Yogyakarta.

Kakaknya memenangi beberapa lomba penulisan ilmiah. Terakhir, ia meraih medali perak pada Olimpiade Sains Nasional (OSN) VII di Makassar, yang berakhir hari Kamis (14/8).

Sang ibu, Yati Utami, mengaku tak pernah membebani anaknya dengan prestasi. Ia hanya menekankan, aksesori hidup sejatinya bukanlah benda.

”Saya tekankan, jangan fokus pada prestasi. Lebih penting mengambil pengalaman dan hikmahnya,” kata Yati yang juga juara II Lomba Karya Ilmiah Guru (LKIG) LIPI Bidang Matematika, IPA, dan Teknologi (Mipatek) tahun 2007.

Baginya, Ikhsan anak yang nrimo, dewasa, dan ulet. Jika teman sebayanya diantar-jemput atau ribut meminta sepeda motor, Ikhsan asyik bersepeda.

Keuletannya terlihat dari proses penulisan. Dalam tiga bulan, terpotong ulangan umum, ia menemui dan mewawancarai puluhan narasumber: pramuwisata, turis asing, hingga birokrat. Keluar masuk sejumlah lokasi wisata ia lakoni, seperti Malioboro, Tamansari, Keraton, dan Alun-alun Selatan.

Sering kali sepulang sekolah ia mampir ke Malioboro, mengobservasi dan menemui turis asing, atau nongkrong bareng pramuwisata. Untuk memudahkan misi, sesekali ia mengaku ”mengerjakan tugas sekolah”. Ini tergantung situasi, katanya.

”Biasanya, kalau bilang tugas sekolah, bule-bule mau cerita panjang lebar. Saya tinggal mendengarkan saja tho,” urai dia. Ia memanfaatkan keberadaan Tourist Information Center (TIC).

Dari wawancaranya dengan para pelancong asing, Ikhsan mengetahui bahwa sebagian besar mereka terganggu dengan ulah pramuwisata liar dan penjaja asongan. Apalagi bila mereka memaksa.

Di sisi lain, pramuwisata liar mengaku hidup dari profesi itu sekalipun hasilnya tak pasti. Alat rekam digital selalu di sakunya, untuk merekam semua dialog. ”Enggak ketahuan tho, kan kecil.”

Ia pun jadi tahu beberapa istilah internal pramuwisata liar, seperti ”menyembelih” atau ”mbeleh” turis, mreteli turis, turise bodho, dan harga belehan. Praktik itu berujung keuntungan sesaat, mengabaikan kualitas layanan.

Caranya, mematok komisi setinggi mungkin atau mematok harga produk melampaui tarif normal. Modusnya, bekerja sama dengan pedagang suvenir atau galeri tertentu.

Untuk membuktikan yang terakhir, Ikhsan menelepon sekaligus merekam (melalui telepon seluler) dialognya dengan penjaga atau pemilik toko suvenir, yang biasa bekerja sama dengan pramuwisata liar. Di hadapan para juri, rekaman itu diputar ulang melalui komputer jinjing (laptop).

”Saya bermaksud positif, memberi refleksi bahwa praktik pramuwisata liar dapat menghambat pariwisata. Bahkan, bisa mematikan wisata itu sendiri,” kata dia.

Penelitiannya menyimpulkan, tertib organisasi pramuwisata penting dan mutlak dilakukan.

Dewasa dan ulet

Ikhsan berbeda dengan mayoritas teman sebayanya. Meski menyukai game online seperti Ragnarok, ia tak terjebak. Begitu pun playstation (PS).

Menjelajah internet juga salah satu hobinya. Di antaranya untuk mengunduh lagu-lagu kesukaan melalui situs-situs keagamaan atau membuka YouTube.

Keberbedaan Ikhsan, seperti diuraikan sang ibu, terlihat sejak kanak-kanak. Kalau teman sebayanya asyik lari-larian, ia ngumpul bareng orang tua.

Kini, di saat sebagian teman sebayanya berburu album rekaman rock, slow rock, atau lagu-lagu pop terkini, Ikhsan justru hobi mendengarkan lagu nasyid dan melagukan ayat-ayat Al Quran (kiroah). Ia vokalis grup nasyid di sekolah. Tak heran bila ia tertarik mendalami Sastra Arab. Kini, ia berusaha keras menghafal ayat-ayat Al Quran.

Di luar itu, ia rutin berlatih menari tradisional di Sanggar Tari Pujokusuman. Setidaknya ia menguasai delapan tarian tradisional Yogyakarta, di antaranya tari Klonorojo, Klonotopeng, dan Beksan. Kata Ikhsan, menari adalah melatih kesabaran dan menjaga keseimbangan otak. Tahun 2005, ia juara tari klasik tingkat SD se-Kabupaten Bantul.

Di tengah ”bombardir” prestasi pelajar Indonesia di ranah ilmu pasti, pencapaian Ikhsan menjadi semacam jeda. Ia contoh generasi muda yang mampu keluar dari ego-nya dan mengalihkan perhatian pada kondisi sosial sekitar.

Tak hanya sebagai pengamat, tetapi mengembangkan ide berbuah tawaran solusi. Sesederhana apa pun itu.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/27/01294694/

 

No comments: